Setelah berhari-hari dari sana, gue dan yang lainnya seperti kehilangan semangat menceritakan ini semua melalui tulisan. Padahal saat di sana, rasanya banyaaaak yang bisa diceritakan. Awalnya gue sendiri juga mau membari judul tulisan ini dengan "Bukan Naik Gunung Biasa", tapi rasanya tiap naik gunung gak ada yang "biasa saja". Selalu ada hal yang istimewa. Minimal kesedihan harus mengeluarkan uang yang bisa buat makan setengah bulan.
Pukul 17.30, Jumat, 25 Januari 2012, kami bersembilan: Bapak Ustat(pake 't'!), Lanobot, Bagubot, Upin, King, Nyambik, Kapten, Magendro, Penthol, dan Tabooti beranjak meninggalkan kosan selama-lamanya. tamat.
Eh, salah, ceritanya jadi kecampur sama imajinasi gue yang lain saking lamanya cerita ini gak ditulis.
Dari kosan, kami bersembilan memulai perjalanan kami. Dari Jl.Juanda, kami membooking seekor angkot hingga Leuwi Panjang dengan harga 50 ribu alias 5 ribu per orang. Oke, gue ralat, jumlah kami sepuluh orang. Di tengah perjalanan, kami melihat pelangi di matamu. AEK! Malah kecampur sama kegalauan di sore hari ini... Di langit senja kala itu terlihat spektrum warna tampak yang melengkung dengan latar gumpalan awan yang disiram cahaya jingga pertanda tenggelamnya matahari. Keren Sob! Sayang, kejadian ini terlihat di angkot sehingga untuk melihatnya kami harus membungkuk-bungkuk bak Habibot belajar silat. Dokumentasi tidak terjadi karena kami telampau kagum.
Sesampainya di Leuwi Panjang, kami mendapatkan persetujuan dengan supir angkot sehingga kami bisa ke kaki gunung Papandayan dengan harga Rp.26 ribu per orang. Ini terjadi setelah Bapak Ustat memperlihatkan tampang sok-cool dan gesture sangar. Kami sebagai orang yang mengenal sosok asli Bapak Ustat, tidak terkesan. Menyemangati pun tidak. Paling cuma menemani. Hahaha
Tidak ada yang istimewa di perjalanan kali ini. Namun semua berubah ketika tiba di Cusurupan. Angkot berhenti. Pak sopir keluar lalu berbincang-bincang dengan orang-orang yang sedang berkumpul di sana. Beberapa saat kemudian, beliau kembali ke angkot lalu berkata kepada kami, "Mas, ini ketuanya siapa? Ikut ke sana sebentar". Singkat cerita, kami diperintahkan untuk turun lalu naik pick up dan membayar lagi 5ribu per kepala. Bapak sopir tadi sangat membantu kami dalam menego harga sehingga cuma 5rb. FYI, konon tarif awalnya adalah sebesar 15rb.
Di atas pick up, kami mengamati pemandangan pegunungan di malam hari. Awesome! Sayang, keterbatasan kamera tidak bisa mendokumentasikan pemandangan tersebut. Dan tak kalah awesome, ketika kami semua melawan dinginnya angin pegunungan di malam itu, Magendro malah menantang angin dengan tidak memakai jaket!! Supeeeerrrr......
Dan, mendadak gue kehilangan mood untuk menceritakan apa yang malam itu kami lakukan di pos 1 Gn. Papandayan gara-gara barusan melihat Bapak Ustat memperlihatkan taring keganasan pencitraannya lagi. Selain itu tidak layak rasanya forum mushola Papandayan diceritakan di sini. Yaah, gak jauh berbeda dengan forum Manglayang sih isinya: galau. galau. galau.
Pendakian kami mulai di pagi hari. Bersambung...
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment